Ibu Perlu Menangis

Ibu Perlu Menangis

20 Februari 2022, Kochi jatuh dari baby walker di teras rumah. Ibu, Dhe Roh, dan Bu Lik Sari di dapur semua. Seingat Ibu, sebelum meninggalkan Kochi di ruang tengah, Ibu yakin sudah mengunci pintu depan. Pagi itu, Ibu menyiapkan air mandi Kochi. Biar aman, Kochi ibu taruh di baby walker ruang tengah bersama Mas Arsyad yang baru bangun tidur. Tak lama, Ibu dan Dhe Roh mendengar suara Kochi menangis. Ibu langsung ke ruang tengah, Kochi tak ada.

Mas Arsyad yang masih di tempat tidur bertanya, “Kochi apa di depan, Dhe?”

Ibu langsung berlari ke teras rumah. Benarlah Kochi jatuh telentang di halaman rumah. Arsyi menangis kencang sekali. Ibu langsung histeris, ikut menangis kencang sambil menggendong Kochi ke belakang. Dhe Roh berusaha menenangkan Ibu.

“Sudah, Nur. Sudah,” ucap Dhe Roh sambil mengelus punggung Ibu.

Ibu menangis lebih kencang lagi mengingat Kochi jatuh dari teras yang tinggi. Ibu sedih sekali membayangkan sakitnya Kochi terpelanting.

“Kok kamu nggak jaga Kochi sih, Syad?” tanya Ibu ke Mas Arsyad yang kebingungan.

“Kok nyalahin Arsyad? Arsyad masih kecil, Mbak. Tadi Mbak Nur ke mana?” Bulik Sari ikut teriak.

“Nggak nyalahin. Cuma tanya,” teriak Ibu penuh amarah. Ibu kecewa dengan diri sendiri, tidak bisa jadi Ibu yang baik.

Kochi yang sudah diam tangisnya, ikut menangis lagi. Dhe Roh kemudian meminta Kochi.

“Kamu berhenti nangis dulu. Kochi kugendong dulu,” ucap Dhe Roh.

Tetangga-tetangga mulai berdatangan bertanya kenapa. Dhe Roh yang menjawab, Kochi jatuh dari baby walker.

Ibu menangis sejadinya di kamar. Ibu sedih sekali. Rasa tak berdaya dan sakit hati memenuhi Ibu. Selesai menangis, Ibu mencari Kochi yang dibawa Dhe Roh. Kochi sudah diam menangis, kemudian Ibu memandikan Kochi.

Selesai Kochi mandi, dada Ibu terasa lega. Oh ternyata Ibu perlu menangis. Selama ini, Ibu berusaha sekali menahan tangis. Ibu menyimpan semua ketakutan, kesedihan, kemarahan, dan sakit hati sendirian. Ibu tidak bicarakan lagi, tapi sungguh menyiksa. Ibu tidak boleh mengeluh dan harus kuat. Ibu harus tetap hidup dan berjuang kembali demi kamu. Entah mulai dari mana.

Ibu berusaha sekali menahan tangis. Cukuplah ratapan tangisan Ibu yang memohon dengan penuh kesedihan itu terjadi di dalam mimpi. Tidak lagi menangis saat Ibu bangun. Kadang Ibu terbangun dengan mata basah, air mata yang masih mengalir. Oh rupanya, Ibu menangis sungguhan ketika bermimpi. Meskipun sudah berjanji tidak menangis, Ibu tetap menangis saat salat, berdoa, dan hujan turun. Ibu tidak berdaya dan ketakutan membayangkan masa depan kita. Takut. Allah tolong kuatkan Ibu lagi.

Ngawi, 1 April 2022

Sajak Luka

Kelak

Kelak, aku dan kamu akan bertemu lagi. Mungkin tidak di dunia ini selama kamu terus bersembunyi, tapi kita pasti bertemu pada hari hisab.

Kelak, aku dan kamu akan bertemu lagi. Tidak lagi dalam tawa bahagia seperti doa-doa bahagia yang pernah terucap. Kita saling menanggung gemuruh dalam jiwa masing-masing. Kalut menunggu putusan Sang Hakim.

Kelak, aku dan kamu akan bertemu lagi. Tidak lagi dapat menyembunyikan kebohongan dan berpura-pura lemah lagi. Tidak bisa berlari atau bersembunyi lagi. Tidak bisa meminta tolong dan melempar kesalahan pada yang lemah, seperti yang kau lakukan sekarang.

Kelak, aku dan kamu akan bertemu lagi. Demi mempertanggungjawabkan segala perbuatan kita. Di antara penyesalan dan ketakutan yang pasti muncul di hadapan Allah, sungguh aku ingin bertanya, “Apa engkau menjalani kehidupanmu dengan tenang tanpa merasa bersalah?”

Kelak, aku dan kamu akan bertemu lagi. Setelah melalui badai demi badai di dunia sendirian, sungguh aku ingin bertanya, “Apakah kamu merasakan bahagia yang sempurna selama sisa hidupmu? Bagaimana bisa engkau tertawa bahagia setelah apa yang engkau perbuat?”

Aku masih berkubang duka. Bermimpi mati berkali-kali lebih mudah daripada melanjutkan hidup. Bagaimana kau bisa tersenyum dan bahagia melanjutkan hidup?

Oh, mungkin karena engkau manusia yang pandai bersyukur. Jadi, tak ada alasan engkau berduka. Apa yang engkau cintai tetap ada dalam hidupmu. Apa yang engkau banggakan tetap kau miliki, nama baik, hidup yang sempurna, dan bakat istimewa untuk mencari pembenaran setiap perbuatanmu.

Kau juga berharap pada waktu, menyembuhkan semua luka tanpa perlu bertanggung jawab. Oh, kerdil sekali pikiranmu. Sayangnya kau tak mengerti, ada yang tak bisa disembuhkan oleh waktu meski puluhan tahun berlalu. Sayangnya kau tak mengerti, duka karena kehilangan tak bisa ditebus oleh apa pun. Sayangnya kau tak mengerti sebab selalu merasa paling tahu dan paham bagaimana dunia bekerja. Baiklah. Bagaimana kau bisa mengerti deritaku jika kau tak kehilangan apa pun?

Kelak, aku dan kamu akan bertemu lagi. Kelak, aku ucapkan lagi, “Aku menagih janji yang kau ingkari.”

Kelak, demi hari itu tiba, sungguh aku harus mengulang ribuan kali kalimat sederhana, “Dunia ini sementara. Dunia ini sungguh sementara. Jika tidak di dunia, aku akan dapatkan keadilan di akhirat.”

Jalanku terasa gelap. Sulit bangkit. Kepahitan hidup dan dendam semakin melemahkan jalanku. Tapi, Tuan seperti biasanya menjalani hidup dengan wajah bersinar. Hebat sekali.

Demi hari yang pasti tiba, berbuat baik dan bertanggung jawablah sebagaimana seharusnya. Allah Maha Melihat dan Mendengar segala perbuatan manusia.

Aku menunggu.

Selamat berbahagia!
Sampai jumpa di akhirat!

7 Januari 2022
00.00
Note: Tuan bisa membohongi semua orang dan berkata, semuanya baik-baik saja, kecuali hatimu dan Allah.

Cinta

Kochi, jika nanti kamu bertanya tentang cinta yang menghampiri dan berusaha meraih hatimu, berhati-hatilah. Jangan gegabah.

Dia yang benar mencintaimu akan memperjuangkan, mempertahankan, dan tak akan meninggalkanmu apa pun yang terjadi.

Sayang, jangan mudah terlena pada pesona dunia. Jangan gegabah, berhati-hatilah. Satu keputusan tentang cinta akan mengubah seluruh hidupmu.

Semoga Allah memberkahimu dengan cinta baik, menghormatimu, menjagamu, menyayangimu, memperlakukanmu dengan baik, dan tak menyakitimu apa pun alasannya.

Sayang, indahnya cinta itu sesaat. Akan tetapi, kesedihan karena cinta akan membekukan waktumu. Tak akan sembuh seperti semula.

Hanya orang yang benar mencintai akan merasakan pedihnya kehilangan. Semoga kamu tak merasakannya. Doaku seluruhnya untukmu. Hanya doa yang bisa kuberikan.

Dunia ini sementara, sayang. Berjuang dan bijaklah dalam mengambil keputusan. Jangan gegabah.

Ngawi, 28 November 2021

17:05

Sore ini sesaat saja. Dia bahagia dengan hidupnya yang sempurna. Dia melupakan kepedihan yang ditinggalkan dan melanjutkan hidup tanpa penuh penyesalan. Apakah dia benar menjalani kehidupan dengan tenang?

Mimpi

Kekuatanku


Jika ini ujian, terima.
Semoga semakin kuat dalam menghadapi hidup.

Jika ini hukuman, jalani.
Semoga semakin lurus jalan ke depannya.

Ujian atau hukuman, semoga tidak menjadikanku kufur terhadap nikmat Allah. Masih banyak hal yang perlu disyukuri. Allah Mahabaik.

Jika tidak di dunia, aku akan temukan hikmah dari setiap takdir Allah di akhirat. Bersabar dan siapkan bekal terbaik untuk menghadapi hari hisab.

Ngawi, 14 Oktober 2021

22.59
Note: Bismillah

Kepercayaan

Kalimat penyemangat dari Mr. Max, “Faith on you…
I have ….”

Dasar dari setiap hubungan menurutku adalah kepercayaan. Hubungan keluarga, pertemanan, bahkan pekerjaan adalah kepercayaan. Kepercayaan akan menumbuhkan kenyamanan dan potensi melejitkan kemampuan terpendam. Kepercayaan ibarat hujan yang membantu menumbuhkan kehidupan yang dititipkan Allah ke dunia.

Pernah Bapak bertanya begini saat makan malam perpisahan Loly, “Sofa, sampai kapan kamu mau ikut saya?”

“Nunggu sampai ditendang Bapak,” jawabku santai.

“Ah, kamu,” balas Bapak tak percaya.

Aku serius. Bersungguh-sungguh saat itu.

Jauh sebelumnya, Bapak pernah berucap begini di depan kawannya, “Banyak yang dulu ikut saya, belum lama, lalu mendirikan usahanya sendiri. Nggak tahu ini kalau Sofa. Dia mau ikut saya berapa lama. Sekarang saja dia sudah pontang-panting ngejar saya.”

Aku terdiam saat itu, tak menjawab karena khawatir tidak sopan menyela pembicaraan Bapak dengan tamu.

Saat itu baru setahun lebih, aku diberi kepercayaan oleh Bapak untuk belajar segalanya dari nol. Kemampuanku yang pas-pasan tak bisa dibandingkan dengan kemampuan Suhu yang luar biasa. Belum lagi mengerti benar satu hal, harus belajar yang lain secara cepat.

Kata Kakek Guru, Pak Frans M. Parera, butuh waktu 15 tahun hingga seseorang melakukan zero kesalahan. Apalagi, aku yang baru belajar sedikit tentang dunia editing dan penulisan. Semakin belajar, semakin merasa, oh aku belum tahu ternyata. Itu sering terjadi. Namun, memotivasiku untuk semakin belajar terus.

Hari pertama masuk kantor yang kubanggakan, aku gugup sekali. Aku tak makan dan tak minum seharian. Aku duduk di kursiku dan hanya bangkit ketika salat. Loly mengajakku makan, tapi aku jawab kenyang. Bahkan, bertanya tentang sesuatu pada hari pertamaku bekerja saja, aku mengirim pesan ke Bapak meskipun Bapak di ruangan sebelah. 😅

Melihatku kaku bekerja di depan komputer, Pak Itok segera berseloroh, “Mbak, aku nate duwe konco sing sedino utuh nggak mangan, nggak ngombe, kerjo terus koyok sampeyan, terus mulih langsung stroke,” ucapnya dengan wajah serius.

Tawaku pecah, aku langsung minum dan mulai bicara dengan yang lain. 😁

Hari-hari yang kulalui penuh dengan pembelajaran, baik dalam bidang pekerjaan maupun cara bersosialisasi.

Pesan Bapak yang paling kuingat, “Sofa, ingat nomor satu dalam agama adalah sabar. Kalau manusia sudah hilang kesabaran, hilang sudah semuanya.”

Berhati-hati, sabar, mau belajar, dan mau mendengarkan orang lain itu yang perlu kulatih setiap hari. Berhadapan dengan 1.000 manusia, berarti berhadapan dengan 1.000 karakter. Tak bisa disamakan, harus terus belajar dan menimbang supaya tak menyakiti orang lain.

Bekerja di IPI adalah rezeki bertemu keluarga baru yang memberi kesempatan kepada setiap karyawannya untuk berkembang dan kepercayaan untuk menyelesaikan setiap tanggung jawab. Nunggu ditendang Bapak, itu sama halnya dengan terus belajar dengan Bapak sepanjang diberi kepercayaan. Jika hilang rasa percaya, itu pertanda harus pergi segera.

Suatu ketika kusampaikan kepada Mr. Max, “Alasan orang bekerja tidak hanya sekadar gaji, tapi hubungan baik. Jika sulit terjalin hubungan baik, akan sulit melangkah bersama.”

Kepercayaan juga yang senantiasa membuatku merasa aman dalam bekerja. Beberapa kali Bapak berkata, “Saya nggak suka ya anak buah saya dimarahi. Sudah nggak kasih makan, masih marahi lagi. Kalau mereka memarahi anak buah saya, berarti mereka memarahi saya juga.”

Aku tertawa setiap kali melihat ekspresi Bapak serius sekaligus bangga diberi kepercayaan sebesar itu meski sering berbuat salah.

“Iya, Pak. Makasih sudah kasih saya makan, kasih minum sampai gemuk gini, kurang kasih jodoh aja haha,” balasku santai.

Tiap kali melihat Bapak hilang sabar terhadapku karena masih keliru bekerja, aku sering berkata, “Sabar ya, Pak. Sabar-sabar sama saya.”

Saya masih mau ikut Bapak dan belajar banyak hal. 😁

Dasar dari setiap hubungan adalah kepercayaan. Semoga setiap usaha belajar dan bekerja meningkatkan kemampuan akan membuahkan hasil sebelum 15 tahun. 😅

Terima kasih Bapak, Mr. Max, dan Syeh Lu atas kepercayaannya.

Stasiun LA, 25 April 2019
23.07
Menunggu hujan reda. Nanti, reda.

Pulang Menemui Senja

“Mbak, tumben pulang sore? Biasanya pulang malam?” sapa Bapak Gojek saat mengantarku pulang ke rumah.

“Eh, Bapak pernah antar saya, ya?” tanyaku terkejut.

“Iya, saya sudah sering antar Mbak pas malam. Baru sekarang Mbak pulang sore,” jelasnya.

“Oh …,” jawabku pendek.


“Mbak, ini anak siapa?” tanyaku pada Mbak Neng melihat anak kecil berlarian di depanku.
“Itu anakku yang paling kecil,” jawab Mbak Neng lagi.
“Ih anak Mbak Neng sekarang udah 3?”
“Masak Kinur lupa?”
“Eh iya… ya. Pas Mbak lahiran aku kan jenguk, bareng Malsa juga,” jawabku malu.

Oh iya, intensitas kumpul bersama teman-teman jadi berkurang sekali semenjak bekerja. Apalagi, bidang pekerjaan dan lokasi kantor jauh dari rumah. Tiap Sabtu-Minggu sebenarnya libur, tetapi sering kali kelelahan dan kehabisan energi di akhir pekan. Hari Sabtu kuisi dengan mengajar anak menulis dan belajar ilmu agama supaya jiwa tak terlalu kering. Minggu, aku lebih sering di rumah dan memilih istirahat jika tak ada kegiatan yang terlalu penting.

Sebenarnya jam kantor itu seperti pada umumnya, pukul 8.00-17.00 WIB. Namun, aku mengubah sendiri jam kerjaku demi kenyamanan dan keselamatan diri. Aku enggan berdesakan naik KRL pada pagi hari. Pengalaman jaket dan tas terjepit pintu KRL saat memaksa masuk kereta sudah cukup jadi pengingat diri agar lebih berhati-hati.

Aku menikmati berangkat siang dan pulang lebih malam. Aku menikmati saat duduk di KRL kosong. Rasanya dunia bisa berputar lebih lambat saat aku mempunyai cukup ruang ketika duduk di kereta kosong.

Saat ini, aku masih merasa nyaman dengan situasi ini. Mungkin nanti jam kerjaku akan berubah saat ada yang mengingatkanku pulang lebih awal dan mengajakku menatap senja bersama. Hari hampir berakhir, cepatlah datang dan memintaku segera pulang.

Jakarta, 23 Januari 2018

18:55

Tentang Doa

Pernahkah kamu berdoa untuk satu hal yang setara dengan seluruh dunia? Jika doa itu terkabul, kamu tak memerlukan apa pun lagi?

 

Semalam aku berdoa, jika satu doa yang kuharapkan terwujud, aku tak ingin meminta lagi untuk diriku. Jika ia sudah hadir di hidupku, aku tak akan meminta apa pun lagi. Kehadirannya yang berharga di hidupku adalah perwujudan semua doa dan penawar segala luka. Tapi, ah … aku pikir, aku terlalu percaya diri saat ini, entah nanti.

 

Semoga Allah memberkahi setiap doa baik manusia dan malaikat mengaminkannya. Jika ketabahan yang diperlukan untuk mewujudkan setiap doa, ya, baiklah. Aku akan berusaha lebih tabah dan bersyukur lagi. Biar Allah mendengar lagi doaku.

 

 

Jakarta, 2 April 2018

15:50

Note: Saat hujan sore turun dengan cahayanya yang masih memikat.

Doa Sofa

Drama Kartu Transjakarta

Setelah memastikan berkali-kali jalur transjakarta arah ke Ciputat, aku mantap naik trans jurusan Tosari-Ciputat. Tujuanku pagi tadi, jalan Ir. H. Juanda di Ciputat. Eh… karena cuma bilang Halte Juanda saja, aku malah turun di Halte Juanda dekat Monas, bukan Juanda di Ciputat.

Sesampainya di Blok M, ada dua penumpang yang naik, seorang mbah berusia sekitar 70-an dan perempuan berusia 30-an. Tadinya, mereka berdua duduk dengan tenang di sebelahku. Aku juga tidak memerhatikan mereka datang dari mana hingga perempuan paruh baya itu bertanya kepadaku.

“Mbak, ini bisnya mau ke Ciputat, kan?”

“Iya Mbak ke Ciputat, kok,” jawabku santai.

“Bayar tiketnya nanti, Mbak?”

Begitu mendengar pertanyaannya, aku langsung menatapnya lekat-lekat, “Mbak memang tadi masuk dari mana? Kalau naik trans kan harus pakai kartu. Kartu seperti ini, Mbak,” jelasku sambil memerlihatkan kartu trans milikku dari BCA.

“Lho… saya nggak punya, Mbak. Memang pakai uang nggak bisa?”

“Nggak bisa, Mbak. Mbak harus beli di halte trans,” jawabku yakin.

Mengikuti perkataanku, mbak berjilbab biru tua akhirnya turun dari trans. Mataku mengikuti kepergiannya, tapi terkejut karena tak melihat halte trans di sekitar. Aku khawatir sekali kalau mbak itu kena denda atau semacamnya.

Setelah mbak berjilbab biru tua turun, pandanganku beralih ke Mbah yang duduk di sebelahku. Aku memiliki kekhawatiran yang sama, kasihan kalau mbahnya nggak punya kartu terus didenda.

Pelan, aku mulai memalingkan badan dan menyapa mbah berbaju hijau.

“Mbah.., sudah punya kartu seperti ini?” tanyaku sambil memerlihatkan kartuku.

“Enggak, ntar bayar aja pakai ini,” jawabnya santai sambil memerlihatkan uang lima ribu yang digenggamnya.

“Enggak Mbah… Mbah harus punya kartu kayak saya. Nggak bisa pakai uang,” jelasku lagi berusaha menyadarkan si mbah.

“Nggak… pokoknya nanti pakai uang saja,” sahutnya yakin.

Hadeh… aku dag-dig-dug dalam hati memikirkan nasih si mbah berkebaya hijau. Khawatir kalau mbah kena denda dan sebagainya. Pikiranku terus berkecamuk, mataku tak lepas menatap mbah di sampingku. Ya ampun, mudah-mudahan mbah di sampingku nggak disuruh bayar denda. Kasihan!

Beberapa menit kemudian, transjakarta mulai berjalan, petugas yang biasanya berdiri di depan pintu, tiba-tiba berjalan ke arah si mbah. Aku mulai berhitung dalam hati sembari merapal doa.

Dengan santai, si mbah mengulurkan uang lima ribu yang digenggamnya erat tadi. Petugas trans mengeluarkan gesek tunai BCA. Petugas menerima uang si mbah dan memberikan bukti pembayaran serta kembalian.

“Lho… Pak… kok bisa bayar pakai uang, sih?” tanyaku dengan ekspresi TERKEJUT BIN MUSTAHIL.

“Iya bisa, Mbak,” petugas trans menjawab dengan ekspresi sesantai dan secuek si mbah.

“Mbaknya ini tadi bilang ke saya, kalau bayar harus pakai kartu. Terus saya bilang, pakai uang juga bisa. Eh tadi ada Mbak yang turun juga karena dikasih tahu Mbak ini harus bayar pakai kartu,” adu si mbah dengan ekspresi penuh kemenangan.

Jeng… jeng… jeng… Rasanya ingin berkata, benarkah itu, Roma?

“Iya Mbak.. memang bisa pakai uang, kok,” tambah si bapak.

Usai petugas berlalu, mbah kembali menjelaskan padaku, “Mbak.. ini bis APTB, bisa bayar pakai uang. Nggak harus pakai kartu.”

Jeng… jeng… jeng,… Benarkah itu, Rika?

Padahal kan sebelumnya, aku udah nanya sama petugas trans kalau arah Tosari-Ciputat itu naik trans, bukan APTB.

“Bis warna biru itu trans, Mbak. Bukan APTB,” jelas mbak petugas trans di Halte Juanda sebelumnya.

Jawaban mbak petugas trans sebelumnya masih terngiang-ngiang. Antara percaya dan nggak percaya… eh beberapa saat kemudian, ada seorang ibu yang bisa turun tidak di halte.

Waaaalllaaaah… naik trans aja aku kalah gaul sama mbah yang sudah sepuh. Hiks… memalukan!

bca-transjakarta-26-01-2013

Kulkas Neng Laela

Tiap kali Idul Adha tiba, aku selalu teringat Neng Laela Nur Rahmah

Ada keajaiban di kulkas Laela yang sebenarnya ingin kutulis sedari dulu…. Kulkas Laela itu kaya sekali dengan makanan. Namun, si empunya malah jarang makan. Meski jarang makan, rezekinya banyak sekali tiap pulang sekolah. Laela selalu membawa oleh-oleh entah dari sekolah, diberi tetangga, dikirim dari rumah, atau diberi makanan dari teman yang datang berkunjung.

Sejak dia hidup sendiri setelah migrasi Daeng Aisyah Vimar ke Hikari. Semakin kaya makanan di kulkasnya. Tiap kali aku ke sana, aku rajin melihat kulkas Laela. Mencari makanan yang kusuka dan membuang makanan yang sudah berhari-hari tak ia makan. Ibaratnya, aku jadi satpol pp buat kulkas Laela wkwk….

“Neng… ih.. ikannya dibuang aja ya, ini udah dari kapan ampe beku gini?” protesku padanya.

“Iya buang aja,” jawabnya kalem dengan wajah penuh kelelahan setelah mengarungi samudera kehidupan sepanjang hari hehe….

“Neng… ya ampun brownies kurma ini udah kedaluwarsa dua minggu ya? Ya ampun… tapi Sabtu kemarin, aku masih makan aja ini brownies!” ucapku kaget.

“Masak sih Nur? Ya udah, ntar buang aja deh,” jawabnya santai.

“Iya, pasti kubuang daripada ntar teman-temanmu kalau datang makan brownies ini! Tapi, Neng… kata teman kuliahku dulu yang anak farmasi. Sebenarnya, tanggal kedaluwarsa itu masih bisa dimakan sampai sebulan ke depan, kok. Aturannya sih gitu.”

Gorengan, biskuit, cokelat, sayur, lauk, sirup, kecap, saos, dan semua bahan makanan siap saji maupun makanan yang umurnya lama ada di Kulkas Neng Laela. Ibarat kata, kulkas Laela adalah toserba!

“Neng… kamu makan gitu, aku udah masak, nih,” tawarku ketika malam tiba.

“Ehm.. udah kenyang Nur tadi makan di sekolah. Ntar malam aja kalau aku lapar, aku mau bikin mie rebus!” jawabnya lagi sambil memejamkan mata.

Mie rebus dengan irisan cabai adalah makanan favorit Neng Laela selain jus dan bakso.

Kalau aku hendak ke rumahnya, Neng Laela selalu nitip, “Nur… jangan lupa beliin bakso depan RTM, ya ma jus,” begitu pesannya selalu.

Aku dengan senang hati membelikannya bakso depan RTM supaya Neng Laela mau makan. Berat badannya persis sekali dengan Nyonya Malsa. Tak pernah berubah sejak lima tahun yang lalu. Rasanya enggak ada tambahan meski satu ons. -_-

Tahun lalu, tiap kali aku ke rumah Neng Laela, aku membuang semua makanan yang kunilai tak layak menghuni kulkas Neng Laela kecuali satu kresek putih di freezer. Aku nggak pernah buka dan melihat isinya selama berbulan-bulan.

Tak selamanya hidup itu selalu menyenangkan, begitu juga dengan isi kulkas Neng Laela yang suatu ketika mengalami paceklik. Aku dan Daeng Viya yang datang lebih dulu sebelum Laela pulang ke rumah tak menemukan bahan makanan meskipun mie instan. Aku dan Daeng akhirnya menelusuri setiap jengkal kulkas Laela dan tatapan mata kami berhenti ke kresek putih itu.

“Daeng… ini apa, ya?” tanyaku sambil membuka bungkus kresek putih.

Semacam benda keras berwarna merah yang punya aura horor. Kuperhatikan lama, tapi tak kunjung temu jawabnya.

“Jangan-jangan ini daging kurban?” balas Daeng Viya sambil berpikir.

“Masak sih? Emang ini udah bulan ke berapa? Idul Adha kapan, sih?”

“Kayaknya setengah tahun yang lalu, deh! Ih.. kalau kita masak aja gimana, ya? Keracunan nggak ya? Kamu searching di internet deh Nur, soal daging yang umurnya setengah tahun masih bagus nggak dimasak?” Daeng Viya sebagai Sarjana Perikanan rupanya memiliki ketakutan terhadap daging Idul Adha haha… Ya iyalah, dia nggak menguasai masalah perdagingan karena jurusannya perikanan wkwk….

“Oke, aku searching deh.” Beberapa menit kemudian, “Daeng.. daging itu tahan bertahun-tahun kali kalau disimpan di freezer. Bisa sampai 5 tahun dan biasanya dijadikan persediaan makanan pas perang,” jelasku bersemangat.

“Oke deh, kita masak saja ya, Nur. Aku bersihin dagingnya, kamu beli bumbunya.”

Sepanjang memasak rendang, aku dan Daeng Viya tertawa terpingkal-pingkal mengingat daging itu. Setelah gulai matang, dan kami makan bersama, Neng Laela baru sampai rumah.

“Eh kalian masak apa? Aku kan nggak punya makanan. Maaf ya kulkasku kosong. Sibuk banget nih belum sempat belanja,” sapa Neng Laela.

“Iya enggak apa-apa Neng. Ayo makan bareng, nasinya juga udah matang. Kita masak gulai sapi, lho!” tawarku kalem.

“Beli daging di mana? Eh… jangan-jangan… ini daging di kulkas, ya?” tanyanya.

“Iyalah, daging dari mana lagi gitu,” sahut Daeng Viya sambil tertawa.

“Ya ampun Neng… dirimu ini kebangetan banget. Kenapa nggak bilang dari dulu ada daging, tahu gitu.. udah kumasakin buat kamu dari dulu,” protesku lagi.

Dan, kami pun mengakhiri sore itu dengan rasa kenyang di perut masing-masing dengan gulai sapi yang dagingnya sudah berumur 6 bulan. 🙂

Semalam, aku bertanya ke Neng Laela lewat WA, “Neng.. kamu masih punya daging, enggak?”

“Masih dong.”

“Masaaakkk,” balasku.

“Masakin dongggg,” balasnya lagi.

Eh Neng… hari ini, aku nggak jadi masak ragi karena Bu Yem lupa ninggalin kelapa buatku. Masak lapis daging aja deh jadinya. Minggu depan, ke sini yaaa…

Aku bakal masakin deh apa maumu wkwk

 

Hikari, 24 September 2016

20:00

Note: Kangeeeen Neng Laelaaa… Main Neng!