Doa Untuk Raka

Semasa di SMA, pernah wali kelasku, Bu Utari berkata, “Kalau murid berprestasi, orang akan tanya, siapa orang tuanya? Tapi kalau murid berbuat yang buruk, orang akan tanya, siapa gurunya? Itulah nasib jadi guru.”

                Perkataan Bu Utari waktu itu teringat terus, apalagi saat aku menjadi guru. Benar-benar seperti yang diucapkan oleh Bu Ut. Ora geseh blas. Pun begitu ketika aku dihadapkan pada sebuah situasi yang benar-benar membuatku terpukul sebagai seorang guru. Bingung bagaimana mengatasi masalah demi masalah yang rasa-rasanya tak pernah habis. Termasuk masalah yang menimpa muridku, sebut saja Raka.

                Bel masuk sudah dibunyikan dari TU sekolah beberapa menit sebelumnya, namun langkahku bukan menuju kelas. Aku berjalan tergesa dengan perasaan cemas bersama kedua orang tua Raka yang sengaja aku undang ke Sekolah. Ada masalah yang harus kuberitahu pada mereka. Entah bagaimana caraku menyampaikan nantinya, meski sebelumnya aku sudah berlatih, menyiapkan kata-kata. Aku tetap saja gugup. Ruang guru tempat kami duduk bertiga mulai kosong, tinggal beberapa guru yang tinggal. Tapi tetap saja tak mengurangi kecemasanku ketika pernyataanku mulai mengarah ke persoalan yang sebenarnya, tentang Raka.

                “Beberapa hari yang lalu, Raka bercanda di kelas. Namun candaanya, tidak bisa lagi disebut bercanda. Raka bermain-main dengan membuka celananya di hadapan anak perempuan,” aku mengambil jeda menarik nafas demi menatap wajah kedua orang tua Raka yang mulai berubah, menggugatku. Tak percaya.

                “Saya pun memanggil Raka, dan mengajaknya berbicara berdua. Saya bertanya mengapa dia melakukan hal itu. Selain itu, ada laporan dari orang tua murid lain mengenai pembicaraan anak-anak tentang hubungan suami-istri yang salah satu sumbernya dari Raka,” kalimat terakhir itu pun akhirnya keluar. Aku menguatkan hati, mencoba mendengar pernyataan dari kedua orang tua Raka.

                “Masak sih Bu? Apa Ibu tidak salah? Raka di rumah terus, tidak pernah kami perbolehkan main di luar rumah dengan teman-temannya sembarangan. Di rumah juga kami jaga betul, tidak ada internet, handphone saja tidak kami berikan. Hanya buku dan komputer saja. Kalau sampai ada pengaruh buruk, pasti datangnya dari sekolah. Dari teman-temannya, tidak mungkin dari rumah!” tatap mata Mama Raka menyorotkan marah dan kecewa luar biasa atas pernyataanku. Papanya terlihat lebih tenang dan berusaha mendengar.

                “Ketika saya berbicara dengan Raka, Raka bilang dia pernah melihat video tentang itu di handphone saudaranya sewaktu liburan di Bandung, Mama Raka,” aku kembali mencoba menyampaikan apa yang kuketahui dengan nada setenang mungkin.

                “Saudaranya di Bandung? Siapa Bu?” Mama Raka masih mengejarku dengan marahnya.

                “Sebaiknya nanti ketika berada di rumah, Mama Raka berbicara dengan Raka baik-baik. Tolong tanyakan pada Raka, karena Raka hanya menyebutkan saudara yang di Bandung.”

                Percakapan kami selanjutnya terasa menyakitkan. Menyakitkan bagi kami, orang tua dan guru yang sama-sama menyayangi Raka. Kekecewaan dan sakit hati jelas tergambar di wajah kedua orang tua Raka. Namun, kami sepakat untuk menyelidiki hal ini lebih lanjut. Demi menyelesaikan masalah rumit yang dialami oleh anak kelas 4 SD. Allah, mengapa dunia terasa semakin tak aman bagi anak-anak?

                Esoknya, aku berbicara kembali dengan Raka. Aku bertanya tentang apa yang ditanyakan oleh orang tuanya. Pertanyaan mereka sama seperti yang aku ajukan. Namun masalah itu berakhir di situ saja. Tak ada tanggapan lebih lanjut kecuali beberapa SMS dari orang tua Raka terkait ketidakyakinan mereka bahwa sumber penyakit itu bermula dari pengaruh keluarga. Entah ini mekanisme pertahanan diri kedua orang tuanya, yang tak bisa menerima kenyataan. Ataukah memang benar demikian? Pengaruh jahat itu bukan dari keluarga Raka, tapi dari sumber lain? Hanya Allahlah yang mengetahui kebenarannya.

                Setelah diskusi dengan guru dan kepala sekolah terkait penanganan masalah ini. Aku mulai mengubah materi morning session (kegiatan setengah jam di pagi hari sebelum pelajaran dimulai untuk membangkitkan minat belajar siswa). Materi yang kuberikan mengenai pergaulan anak laki-laki dan perempuan, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan antara teman laki-laki dan perempuan, berusaha kupahamkan kepada mereka dengan bahasa yang mudah. Meski pada kenyataannya, tak semudah itu memahamkannya.

                Kembali ke Raka, siapa sangka cobaan itu akan datang dan merusak anak kecil yang belum lagi beranjak remaja? Raka adalah anak yang pandai, nilainya di atas rata-rata hampir di semua mata pelajaran. Dia rajin membaca, bahkan di rumah Raka sering membaca ensiklopedi yang dibelikan orang tuanya. Kedua orang tua Raka adalah orang tua yang pandai, lulusan dari universitas negeri terbaik, mendapatkan pekerjaan yang mapan pula.

Meski sibuk dan tak sempat menemani Raka setiap hari belajar, orang tua Raka selalu menyempatkan akhir pekan untuk liburan dan belajar bersama, apalagi jika ada ulangan harian, orang tua Raka akan menemani Raka belajar mengulang pelajaran. Orang tua Raka sudah berusaha sebaik-baiknya menjalankan tugas mereka sebagai orang tua, apalagi dengan pendidikan yang mereka miliki. Harapan Raka dapat mengikuti jejak kedua orang tuanya tentunya merupakan hal yang lumrah.

                Tapi siapa duga? Sebaik-baik penjagaan mereka, tetaplah ada celah yang tak bisa mereka lihat dan selamatkan Raka dari gangguan tersebut. Seiring berjalannya waktu, badai itu mereda. Perilaku buruk Raka pun hilang, aku dan guru-guru lainnya semakin mengawasi dengan ketat pembicaraan murid-murid saat jam istirahat dan waktu luang lainnya. Kami tak ingin kehilangan kesempatan menjaga mereka dari berbagai hal buruk tersebut. Saat badai mereda, kami kira, badai itu hilang. Namun, Allahlah sebaik-baik pengatur kehidupan. Kebenaran itu meski menyakitkan akhirnya menampakkan wujudnya.

                Ada seorang guru lainnya yang mendapat telepon dari Mama Raka, meminta sekolah mengadakan pelatihan pendidikan seks bagi anak dan orang tua. Sebab Raka kedapatan membuka situs pornografi ketika berada di tempat les yang memiliki akses internet. Allah, ini adalah kebenaran yang sungguh tak kami harapkan…. Sekolah pun segera berusaha mengadakan pelatihan tersebut sembari berharap tak ada lagi korban selain Raka.

                Mengingat pola asuh dari orang tua Raka yang sudah berusaha menjaga dengan baik, namun masih mendapat cobaan. Bagaimana dengan orang tua lainnya? Sudahkah membekali anak dengan pemahaman yang baik? Tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan terkait dengan fasilitas yang diberikan oleh orang tua? Karena zaman sekarang, anak memiliki handphone dengan fasilitas internet bukan lagi hal langka. Apalagi dengan menjamurnya handphone murah dengan kualitas yang tak kalah canggih. Satu-satunya sumber kejahatan yang bisa merusak anak pun, bukan hanya melalui handphone dan internet. Tayangan di televisi pun lebih banyak yang membutuhkan bimbingan orang tua daripada layak ditonton oleh anak.

                Rasa ingin tahu anak-anak yang besar terhadap segala sesuatu tidak cukup dipuaskan hanya dengan larangan saja. Memahamkan pada anak tentang pembatasan yang dilakukan demi kebaikan mereka juga bukan hal yang mudah, namun bukan berarti mustahil dilakukan. Dan sebaik-baik penjagaan yang bisa kita lakukan setelah usaha terbaik adalah doa. Doa pada Allah karena hanya DIA yang mampu memberi penjagaan terbaik bagi anak-anak di sepanjang hidupnya.

Ndoro Kakung home, 17 Januari 2014

00:15

Note: Jangan pernah lewatkan kesempatan sekecil apa pun untuk mendengarkan anak-anak bercerita, dan dengarkanlah mereka sepenuh hati. Karena barangkali waktu yang sebentar itu adalah penyelamat bagi mereka yang belum mengetahui bahaya dari baik-buruknya perilaku orang-orang di sekitar mereka.

4 komentar di “Doa Untuk Raka

  1. Serasa ingin segera menjadi ibu saja 😳
    Entah sejak kapan, azzam itu tertanam kuat di hati. Bahwa ketika nanti suami memintaku berprofesi menjadi ‘ibu rumah tangga’, kan kulakukan hal itu sepenuh hati.
    Iya, demi anak-anaknya 🙂
    *curcoool* hehehe

Tinggalkan komentar